#125. Pemikiran Kuntowijoyo: Islam sebagai Ilmu (Epistemologi Strukturalisme Transendental dan Metode Obyektifikasi)


Pemikiran Kuntowijoyo: Islam sebagai Ilmu
Epistemologi Strukturalisme Transendental dan Metode Objektifikasi 

Pemikiran Kuntowijoyo lahir dari keresahan intelektual terhadap arah perkembangan ilmu pengetahuan modern yang kian menjauh dari dimensi etik dan spiritual. Modernitas yang semula diharapkan membawa pencerahan justru melahirkan sekularisasi dan fragmentasi ilmu. Rasionalitas ilmiah yang mengandalkan empirisisme dan positivisme menjadikan realitas hanya diukur melalui data, bukan makna. Akibatnya, ilmu kehilangan orientasi moral dan kesadaran transendentalnya. Hubungan antara pengetahuan, iman, dan akhlak pun terputus, sehingga manusia modern hidup dalam paradoks: dikelilingi informasi tanpa arah, rasional tetapi terasing dari nilai kemanusiaan. 
Dalam situasi epistemik seperti itu, Kuntowijoyo mengajukan gagasan Islam sebagai ilmu sebagai alternatif paradigmatik. Baginya, Islam bukan hanya sistem keyakinan pribadi, tetapi sumber nilai publik yang dapat melahirkan struktur pengetahuan yang integral. Islam menyediakan fondasi epistemologis yang menyatukan wahyu, akal, dan realitas sosial dalam satu kesatuan dinamis. Wahyu menjadi horizon normatif dan sumber makna abadi, sementara realitas berfungsi sebagai medan empiris tempat nilai-nilai tersebut diuji dan diwujudkan. Dengan menjembatani keduanya, umat Islam dapat menghindari jebakan dogmatisme di satu sisi dan kekosongan nilai ilmiah di sisi lain. Dalam pandangan Kuntowijoyo, aktivitas menuntut ilmu merupakan bagian dari ibadah karena meneguhkan hubungan manusia dengan Tuhan dan dengan masyarakatnya. 
Kontribusi konseptual penting dari Kuntowijoyo adalah pengembangan strukturalisme transendental. Ia meminjam pendekatan struktural dari teori sosial modern, tetapi memberinya dasar nilai yang bersumber dari wahyu. Pendekatan ini menegaskan bahwa struktur sosial bukanlah entitas netral, melainkan fenomena empiris yang harus dipahami dalam cahaya nilai-nilai ketuhanan. Berbeda dari strukturalisme Barat yang sering menegasikan dimensi spiritual dan bersifat relativistik, strukturalisme transendental Kuntowijoyo menempatkan kebenaran mutlak—yang berasal dari Allah ﷻ—sebagai orientasi utama ilmu. Tujuan ilmu sosial, dengan demikian, tidak berhenti pada deskripsi fakta, tetapi diarahkan pada pembentukan tatanan moral dan transformasi sosial yang adil serta manusiawi. 
Konsep lain yang menjadi pilar pemikiran Kuntowijoyo adalah objektifikasi. Istilah ini merujuk pada proses penerjemahan nilai-nilai wahyu seperti ‘adl (keadilan), rahmah (kasih sayang), dan tahrīr (pembebasan) menjadi kerangka pengetahuan yang rasional, sistematis, dan dapat diuji secara sosial. Melalui objektifikasi, nilai-nilai transendental tidak berhenti sebagai ideal moral, tetapi diwujudkan dalam kebijakan publik, sistem hukum, ekonomi, dan kebudayaan yang berkeadilan. Pendekatan ini memungkinkan Islam tampil di ruang publik secara universal tanpa kehilangan akar spiritualnya. Islam, dalam kerangka ini, tidak diposisikan sebagai simbol eksklusif, melainkan sebagai etika universal yang mendorong kemajuan dan kemanusiaan. 
Paradigma Islam sebagai ilmu menjadi semakin relevan dalam konteks global kontemporer yang ditandai oleh ketimpangan ekonomi, krisis lingkungan, korupsi politik, dan alienasi digital. Dalam era disrupsi teknologi, manusia mudah tercerabut dari kesadaran etik dan spiritualnya. Kuntowijoyo mengingatkan bahwa Islam bukanlah penghalang bagi kemajuan ilmu, tetapi justru memberi orientasi moral, arah sosial, dan tujuan kemanusiaan bagi seluruh perkembangan sains dan teknologi. 
Dengan demikian, pemikiran Kuntowijoyo merupakan upaya sistematis untuk merekonstruksi epistemologi ilmu modern yang telah terpecah. Ia menghadirkan jembatan antara wahyu dan realitas, antara nilai dan fakta, antara transendensi dan praksis sosial. Melalui metode objektifikasi dan kerangka strukturalisme transendental, ilmu kembali pada fungsinya sebagai sarana mencapai keadilan, kemanusiaan, dan kebijaksanaan. Paradigma ini melampaui sekat keagamaan dan kultural, menawarkan visi pengetahuan yang berakar pada tauhid dan relevan bagi arah baru peradaban manusia. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

#119: PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA